Jebakan setan
Di negara kita, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang suka sekali dipanggil ‘Haji‘ (sampai ada sinetron yg menyindir soal itu). Seolah jika tidak dipanggil dengan gelaran itu, mereka yang sudah pernah haji merasa kurang dihargai. Malah, sejak pulang dari haji, banyak lelaki menambahkan gelar ‘H’ di depan namanya, atau ‘Hj‘ (Hajah) bagi wanita.
Ka’bah: bukan mengejar gelar ‘Haji’
Para arif menguatirkan soal itu. Pasalnya, ibadah haji itu, sebagaimana ibadah lainnya, sejatinya hanya untuk Tuhan semata. Bukan mencari gelar, bukan untuk dilihat manusia. Kata kaum arif, bakti atau ibadah itu hanya untuk Allah semata, bukan demi gelar atau pujian dari makhluk-Nya.
Sebabnya jelas, kata ulama yang arif, bahwa dikuatirkan kalau sampai mengharapkan dilihat orang (atau memamerkan) ibadah (solat, sedekah, puasa, haji, dsb) kepada orang lain , maka ibadah itu menjadi riya’ (ria’) — melunturkan keikhlasan yang awalnya diniatkan.
Jebakan Setan
Lalu bersamaan dengan itu, si hamba tadi bisa merasa dirinya hebat, atau saleh, lebih dari orang lain, sehingga muncul ‘ujub (kebanggaan pada diri sdri) atau bahkan arogan. Padahal semuanya, riya’, ujub, bangga diri atau arogansi (kesombongan) adalah penyakit-penyakit hati. Penyakit ‘Syaitoni, virus dari Setan, sebuah ‘jebakan’ — yang membuat hati keruh dan kotor, sehingga membuat Tuhan murka. Akibatnya, alih-alih dari memperoleh pahala dan surga, pelaksana ibadah tadi justru mendapatkan dosa.
“Kita mesti ingat bahwa kebanggaan diri, ‘ujub atau arogansi, itulah yang menyebabkan Setan dikutuk Allah,” kata Ustadz. Pada awalnya setan bukan tidak percaya Tuhan. Dia sangat percaya pada Tuhan, tetapi kesombongan diri-nya lah yang menyebabkan dia kelak akan disiksa, menjadi ‘rajiim’ — karena Setan, yang diciptakan dari api merasa dirinya lebih tinggi dari Adam, yang diciptakan dari tanah. ‘Kesombongan atau arogansi itu pakaian Tuhan; jangan sekali-kali mencoba menjadi seperti Tuhan.’
Ustadz biulang, bahwa riya’, dan ‘ujub adalah penyakit hati yang lembut sekali, yang kadang tidak kentara atau tidak terasa. Ia membuat hati tidak lagi bersih, murni. Bahasa agamanya, hatinya tidak lagi ‘saliim‘ — padahal hanya hati yang ‘saliim‘ saja yang bisa datang ke haribaan Tuhan. Hati yang bersih, suci, berserah diri seratus prosenn kepada Allah. Illaa man ata-Allaha bi qalbin saliim.
Sekali lagi, kata Ustadz, siapa saja yang menyimpan rasa arogansi (sombong) atau ‘ujub dalam hatinya, tidak akan pernah mencium bau surga.
Yang mesti diingat, kata Ustadz, bahwa janganlah merasa sudah cukup beribadah, apalagi merasa ibadah kita sudah hebat. Seberapa banyaknya sedekah kita, sesering apa pun tahajud kita, atau sebanyak apa pun puasa sunnah kita, tidak layak bagi seorang hamba menjadi merasa saleh. Maka, jangan sekali-kali memamerkan pada orang lain, misalnya dengan menunjukkan bahwa diri kita akan atau telah melakukan tahajud, sedekah, puasa, atau solat. Ajakan kepada kebaikan tentu baik, itu sebuah ‘amar ma’ruf, tetapi hati-hati melakukannya; sekali terbersit niatan menyombongkan diri, ‘ujub atau riya’, maka hancurlah semua pahala kebaikan itu, dan justru berganti dengan dosa.
Menurut ajaran Nabi SAW dan keluarga (Ahlul Bait)-nya yang suci, semua amal baik seseorang belum tentu bisa menjamin ia masuk surga — sesaleh apa pun ia merasa atau menganggap dirinya. Orang hanya bisa masuk surga bila (setelah) mendapat maghfirah (ampunan) dan rakhmat Allah.
Membantu yang membutuhkan: menguji kualitas amal…
Itu sebabnya, Ahlul Bait Nabi saw mengajarkan doa yang maknanya seperti di bawah ini:
“Ya Allah, sesungguhnya maghfirah-Mu lebih kami harapkan (andalkan) daripada amal-amal kami; Dan sesungguhnya rahmat-Mu lebih luas ketimbang dosa-dosa kami. Maka, ya Allah, jika dosa-dosa kami di sisi-Mu amat besar, tentu saja maaf-Mu lebih agung daripada dosa-dosa kami.”
Berikut ini doa tersebut dan transliterasinya:
اللهم إن مغفرتك أرجى من عملي
و إن رحمتك اوسع من ذنبي
اللهم إن كان ذنبي عندك عظيما فعفوك أعظم من ذنبي
Allahumma, inna maghfirataka arjaa min ‘amaliy; wa inna rahmataka ausa’u min dzanbiy; Allahumma in-kaana dzanbiy ‘indaka ‘adhiiman, fa-afwuka a’dhomu min dzanbiy.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, dan kelak mengumpulkan kita dan para pendahulu kita bersama Nabi saw dan keluarganya yang suci, serta para syuhada’ dan orang-orang saleh di surga-Nya. Ilaahi Yaa Kariiim.
0 komentar:
Posting Komentar