Jumat, 19 September 2014

Belajar bersyukur


“Gila. Berat banget rasanya jalanin hidup ini. Asli. Parah banget. Udah jalan kemana-mana, panas-panasan bawa ijazah S1, kirim CV n’ surat lamaran kerja ke banyak perusahaan, coba ngehubungin temen-temen nanyain peluang kerja, tapi kok ya belum ada panggilan sampe sekarang yaa. Haduhhh. Harus gimana lagi coba? Rasanya pengen give up deh kalo gini caranya!” keluh Aldo, seorang pemuda berusia 22 tahun yang baru saja menyelesaikan masa studinya di salah satu universitas swasta di Yogyakarta tiga bulan yang lalu.
Selama kurang lebih dua bulan, ia berusaha mendapatkan pekerjaan dengan modal ijazah S1nya. Ia pergi ke pusat bahkan ke berbagai sudut kota dengan maksud mendapatkan sebuah posisi yang sesuai dengan bidangnya di salah satu perusahaan ternama di Yogyakarta.
Saat itu terik matahari terasa begitu panas. Seorang pemuda berpostur tegak dengan pakaian formal memasuki beberapa perusahaan meninggalkan map biru berisikan berkas lamaran bertuliskan ‘Aldo’. Meski demikian, tak satupun kabar baik mendatangi dirinya. Penolakan demi penolakan ia alami, baik secara langsung maupun tidak. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk duduk di sebuah kedai kopi sederhana milik Mbok Sum yang ada di sekitaran kawasan Malioboro.
“Mbok, kopi satu yaa …” pinta Aldo tanpa semangat.
Ia mengambil telepon genggam dari kantong celananya untuk kemudian meminta konfirmasi ke beberapa perusahaan tentang lamaran yang pernah ia ajukan.
“Waduh mas, kami belum membutuhkan tenaga pekerja tambahan kali ini. Mungkin bisa dicoba lain waktu.”
“Maaf Pak, perusahaan kami baru sajamelakukan perekrutan karyawan baru untuk posisi yang Bapak Aldo inginkan.”
“Kami telah berbicara dengan bagian HRD kemarin. Namun untuk saat ini kami belum bisa menerima lamaran kerja bapak.”
“Maaf sekali Pak, Bapak Aldo belum memenuhi klasifikasi yang perusahaan kami tentukan.”
Jawaban-jawaban diatas menambah berat perasaan Aldo. Dari kelima sahabatnya, hanya ia yang belum mendapat pekerjaan. Sejenak ia teringat moment kelulusan yang ia rayakan bersama kelima sahabatnya itu. Ia teringat betapa bangganya ia menunjukkan ijazah cum-laudenya kepada para sahabatnya. Hatinya semakin runtuh mengingat hal-hal itu. Posisi duduknya kian membungkuk merasakan beban yang ada di pundaknya. Tangan kanannya ia letakkan tegak diatas meja dengan telapak tangan terbuka. Ia letakkan dagunya pada telapak tangan tersebut.
“Kok Tuhan gini yaa. KENAPA SIH CUMA AKU yang bernasib buruk dibanding sahabat-sahabatku?! Kenapa cuma aku yang belum dapet kerjaan?!” keluh Aldo pada Tuhan.
Tiba-tiba datang seorang bapak tua, di kisaran usia 60 tahun, duduk di sebelah Aldo dikedai kopi Mbok Sum tadi. Mereka berdua sama-sama melontarkan senyum.
Setelah duduk bersebelahan selama kurang lebih 5 menit, terjadilah sebuah percakapan sederhana antara Aldo dan si Bapak Tua.
“Adik, lagi istirahat kerja?” tanya si Bapak Tua yang ternyata adalah seorang penjual balon gas keliling.
“Enggak, Pak. Lagi santai aja kok,” jawab Aldo singkat. “Boro-boro istirahat, Pak. Kerja aja saya belum dapet!!” sahut Aldo di dalam hatinya.
“Bapak jualan balon keliling, Pak? Untuk apa kalau boleh tau, Pak? Orang seusia Bapak mah enakan dirumah aja, Pak. Santai-santai main sama cucu..hehehe,” Tanya Aldo pada si Bapak Tua.
“Justru itu, dik. Justru bapak jualan karena cucu,” sahut si Bapak Tua.
Merasa penasaran, Aldo melanjutkan pertanyaannya, “Loh, kok gitu, Pak?”
“Iya, dik. Cucu bapak sekarang kelas 6 SD. Orangtuanya meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Sekarang ia tinggal sama bapak dan bapak tau kalau dia pengeeeeen banget lanjut SMP. Tapi Bapak belum ada uang. Makanya Bapak ingin cari uang biar bisa sekolahin dia. Kadang bapak jualan balon, kadang narikin becak temen, kadang bapak jualan asongan, antar koran. Apa ajalah dik pokoknya, yang penting halal. Asal cucu bapak bisa sekolah, asal dia gak sedih,” kata si Bapak Tua sembari tersenyum.
Situasipun menjadi hening untuk sesaat. Aldo hanya terdiam.
Pernyataan si bapak tua itu memberi pukulan yang cukup keras di hati Aldo. Ia sadar bahwa selama ini ia hanya sering melihat keatas, mengeluh tanpa mau berusaha lebih keras. Ia tahu selama ini ia enggan melihat sekelilingnya. Ia baru saja tersadarkan bahwa nasibnya masih jauh lebih baik dari beberapa orang yang ada di sekitarnya. Ia masih memiliki orang tua yang lengkap. Ia sanggup menyelesaikan gelar pendidikannya tanpa mengalami kesulitan keuangan. Ia hidup berkecukupan. Dan masih banyak hal lain yang pastinya sangat pantas untuk disyukuri.
Sobat, mari kita syukuri segala nikmat yang kita miliki saat ini. Marigunakan rasa syukur itu untuk membangkitkan energi serta keyakinan positif akan kesuksesan diri. Tinggalkan kebiasaan lama kita untuk mengeluh. Mari sibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan positif. Jadikan hari-harimu luar biasa dengan selalu BERSYUKUR, sobat!

0 komentar:

Posting Komentar